Pada Tulisan Artikel Ini , Kita Dapat Mengetahui Ciri Ciri Mereka Dari Pada Kaum Antara Ahlus-Sunnah, Isis Khawarij Dan Kaum Syiah Laknatulloh, Semoga Pula Pada Artikel Ini Dapat Di Fahami Sebagai Suatu Pengetahuan Agar Bagi Saudara Dan Saudariku Semuawanya Tidak Bingung Untuk Menilai Mana Yang Benar Dan Mana Yang Salah…, Serta Semoga Allah Memberi Petunjuk Serta Hidayahnya Kepada Kita Semuanya Pula… In Shaa Allah, Aamiin 😀
………………………………………………………………………
↗ CIRI AHLUSSUNNAH,
selengkapnya di :
SALAF, SALAFY DAN SALAFIYAH
Ahlus Sunnah memiliki ciri-ciri yang sangat jelas di mana ciri-ciri itulah yang menunjukkan hakikat mereka… 😀
- Mereka adalah orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah dan jalan para sahabatnya, yang menyandarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman salafus shalih yaitu pemahaman generasi pertama umat ini dari kalangan shahabat, tabi’in dan generasi setelah mereka. Rasulullah bersabda (yang artinya):“Sebaik-baik manusia adalah generasiku kemudian orang-orang setelah mereka kemudian orang-orang setelah mereka.” (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad)
-
Mereka kembalikan segala bentuk perselisihan yang terjadi di kalangan mereka kepada Al Qur’an dan As Sunnah dan siap menerima apa-apa yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasulullah. Firman Allah (yang artinya): “Maka jika kalian berselisih dalam satu perkara, kembalikanlah kepada Allah dan Rasulullah jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir. Dan yang demikian itu adalah baik dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa: 59). “Tidak pantas bagi seorang mukmin dan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya memutuskan suatu perkara untuk mereka, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah sesat dengan kesesatan yang nyata.“(QS. Al Ahzab: 36)
-
Mereka mendahulukan ucapan Allah dan Rasul daripada ucapan selain keduanya. Firman Allah (yang artinya):“Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian mendahulukan (ucapan selain Allah dan Rasul ) terhadap ucapan Allah dan Rasul dan bertaqwalah kalian kepada Allah sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al Hujurat: 1)
-
Menghidupkan sunnah Rasulullah baik dalam ibadah mereka, akhlak mereka, dan dalam semua sendi kehidupan, sehigga mereka menjadi orang asing di tengah kaumnya. Rasulullah bersabda tetang mereka (yang artinya): “Sesungguhnya Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali pula daam keadaan asing, maka berbahagialah orang-orang dikatakan asing.” (HR. Muslim dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
-
Mereka adalah orang-orang yang sangat jauh dari sifat fanatisme golongan. Dan mereka tidak fanatisme kecuali kepada Kalamullah dan Sunnah Rasulullah. Imam Malik mengatakan: “Tidak ada seorangpun setelah Rasulullah yang ucapannya bisa diambil dan ditolak kecuali ucapan beliau.”
-
Mereka adalah orang-orang yang menyeru segenap kaum muslimin agar bepegang dengan sunnah Rasulullah dan sunnah para shahabatnya.
-
Mereka adalah orang-oang yang memikul amanat amar ma’ruf dan nahi munkar sesuai dengan apa yang dimaukan Allah dan Rasul-Nya. Dan mereka mengingkari segala jalan bid’ah (lawannya sunnah) dan kelompok-kelompok yang akan mencabik-cabik barisan kaum muslimin.
-
Mereka adalah orang-orang yang mengingkari undang-undang yang dibuat oleh manusia yang menyelisihi undang-undang Allah dan Rasulullah.
-
Mereka adalah orang-orang yang siap memikul amanat jihad fi sabilillah apabila agama menghendaki yang demikian itu.
Syaikh Rabi’ dalam kitab beliau Makanatu Ahli Al Hadits hal. 3-4 berkata: “Mereka adalah orang-orang yang menempuh manhaj (metodologi)-nya para sahabat dan tabi’in dalam berpegang terhadap kitabullah dan sunnah Rasulullah dan menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mendahulukan keduanya atas setiap ucapan dan petunjuk, kaitannya dengan aqidah, ibadah, mu’amalat, akhlaq, politik, maupun, persatuan. Mereka adalah orang-orang yang kokoh di atas prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkah Allah kepada hamba dan Rasul-Nya Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang tampil untuk berdakwah dengan penuh semangat dan kesungguh-sungguhan. Mereka adalah para pembawa ilmu nabawi yang melumatkan segala bentuk penyelewengan orang-orang yang melampaui batas, kerancuan para penyesat dan takwil jahilin. Mereka adalah orang-orang yang selalu mengintai setiap kelompok yang menyeleweng dari manhaj Islam seperti Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rafidah (Syi’ah), Murji’ah, Qadariyah, dan setiap orang yang menyeleweng dari manhaj Allah, mengikuti hawa nafsu pada setiap waktu dan tempat, dan mereka tidak pernah mundur karena cercaan orang yang mencerca.”
Ciri Khas Mereka
1. Mereka adalah umat yang baik dan jumlahnya sangat sedikit, yang hidup di tengah umat yang sudah rusak dari segala sisi. Rasulullah bersabda (yang artinya): “Berbahagialah orang yang asing itu (mereka adalah) orang-orang baik yang berada di tengah orang-orang yang jahat. Dan orang yang memusuhinya lebih banyak daripada orang yang mengikuti mereka.” (Shahih, HR. Ahmad)
Ibnul Qoyyim dalam kitabnya Madarijus Salikin 3/199-200, berkata: “Ia adalah orang asing dalam agamanya dikarenakan rusaknya agama mereka, asing pada berpegangnya dia terhadap sunnah dikarenakan berpegangnya manusia terhadap bid’ah, asing pada keyakinannya dikarenakan telah rusak keyakinan mereka, asing pada shalatnya dikarenakan jelek shalat mereka, asing pada jalannya dikarenakan sesat dan rusaknya jalan mereka, asing pada nisbahnya dikarenakan rusaknya nisbah mereka, asing dalam pergaulannya bersama mereka dikarenakan bergaul dengan apa yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka”.
Kesimpulannya, dia asing dalam urusan dunia dan akhiratnya, dan dia tidak menemukan seorang penolong dan pembela. Dia sebagai orang yang berilmu ditengah orang-orang jahil, pemegang sunnah di tengah ahli bid’ah, penyeru kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah orang-orang yang menyeru kepada hawa nafsu dan bid’ah, penyeru kepada yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran di tengah kaum di mana yang ma’ruf menjadi munkar dan yang munkar menjadi ma’ruf.”
Ibnu Rajab dalam kitab Kasyfu Al Kurbah Fi Washfi Hal Ahli Gurbah hal 16-17 mengatakan: “Fitnah syubhat dan hawa nafsu yang menyesatkan inilah yang telah menyebabkan berpecahnya ahli kiblat menjadi berkeping-keping. Sebagian mengkafirkan yang lain sehingga mereka menjadi bermusuh-musuhan, berpecah-belah, dan berpartai-partai yang dulunya mereka berada di atas satu hati. Dan tidak ada yang selamat dari semuanya ini melainkan satu kelompok. Merekalah yang disebutkan dalam sabda Rasulullah: “Dan terus menerus sekelompok kecil dari umatku yang membela kebenaran dan tidak ada seorangpun yang mampu memudharatkannya siapa saja yang menghinakan dan menyelisihi mereka, sampai datangnya keputusan Allah dan mereka tetap di atas yang demikian itu.”
- Mereka adalah orang yang berada di akhir jaman dalam keadaan asing yang telah disebutkan dalam hadits, yaitu orang-orang yang memperbaiki ketika rusaknya manusia. Merekalah orang-orang yang memperbaiki apa yang telah dirusak oleh manusia dari sunnah Rasulullah. Merekalah orang-orang yang lari dengan membawa agama mereka dari fitnah. Mereka adalah orang yang sangat sedikit di tengah-tengah kabilah dan terkadang tidak didapati pada sebuah kabilah kecuali satu atau dua orang, bahkan terkadang tidak didapati satu orangpun sebagaimana permulaan Islam.
Dengan dasar inilah, para ulama menafsirkan hadits ini. Al Auza’i mengatakan tentang sabda Rasulullah (yang artinya):“Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing. Adapun Islam itu tidak akan pergi akan tetapi Ahlus Sunnah yang akan pergi sehingga tidak tersisa di sebuah negeri melainkan satu orang.” Dengan makna inilah didapati ucapan salaf yang memuji sunnah dan mensifatinya dengan asing dan mensifati pengikutnya dengan kata sedikit.” (Lihat Kitab Ahlul Hadits Hum At Thoifah Al Manshurah hal 103-104)
Demikianlah sunnatullah para pengikut kebenaran. Sepanjang perjalanan hidup selalu dalam prosentase yang sedikit. Allah berfiman (yang artinya): “Dan sedikit dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.”
DI KUTIP DARI ARTIKEL :
http://varyd.wordpress.com/
Sumber : http://www.asysyariah.com
================================
↗ CIRI ISIS KHAWARIJ
Ciri isis (Khawarij) ini yaitu sangat suka Mengkafirkan Pemerintah Muslim, jauh Beda dengan Salafi atau ahlus-sunnah ….
😀
Perhatikan penjelasan di bawah ini :
Telah dimaklumi bahwa kelompok-kelompok Khawarij termasuk ISIS dan yang lainnya, mengkafirkan para penguasa muslim dan menjuluki mereka dengan thagut, bahkan ISIS berencana merebut Al-Haramain dari penguasa thagut Arab Saudi, menurut mereka.
Namun anehnya, ada sekelompok orang Syi’ah dan para simpatisan mereka yang menuduh bahwa Salafi sama dengan ISIS. Tulisan ringkas ini insya Allah akan membedah akar pengkafiran Khawarij terhadap para penguasa, yang sangat berbeda dengan aqidah Salafi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Makna Kekafiran dan Pembagiannya
Kekafiran (الكفر) secara bahasa maknanya adalah (الستر) dan (التغطية), yang berarti menutup. Sedangkan menurut syari’at, kekafiran adalah lawan dari keimanan (ضد الإيمان). Dan terbagi dalam lima jenis, yaitu:
1) Mendustakan (كفرالتكذيب)
2) Menentang (كفر الإباء والاستكبار)
3) Ragu (كفر الشك)
4) Berpaling (كفر الإعراض)
5) Kemunafikan (كفر النفاق)
[Lihat Madarijus Salikin, karya Al-Imam Ibnul Qoyyim, 1/335-338]
Adapun tingkatan kekafiran terbagi dua:
1) Kekafiran besar (الكفر الأكبر), yang menyebabkan murtad (keluar dari Islam dan menjadi kafir)
2) Kekafiran kecil (الكفر الأصغر), yang tidak menyebabkan murtad.
[Lihat Majmu’ At-Tauhid, oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 6, sebagaimana dalam Aqidatul Muslim, karya Asy-Syaikh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al-Qohthoni, 1-2/621-626]
Tidak Berhukum dengan Hukum Islam, Apakah Termasuk Kekafiran Besar ataukah Kekafiran Kecil?
Pendapat pertama: Termasuk kekafiran besar yang menyebabkan murtad, ini pendapat ahlul bid’ah dari kalangan Khawarij dan selain mereka yang beragama atas dasar semangat belaka, bukan dengan ilmu.
Pendapat kedua: Termasuk kekafiran kecil yang tidak menyebabkan murtad, kecuali jika pelakunya melakukan salah satu dari tiga hal:
1) Menghalalkan hukum yang bertentangan dengan Islam
2) Menganggap ada hukum yang sama baiknya dengan hukum Islam
3) Menganggap ada hukum yang lebih baik dari hukum Islam.
Apabila seorang penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Islam melakukan satu dari tiga hal tersebut barulah dia dihukumi telah melakukan kekafiran besar yang dapat menyebabkan dia murtad, kafir dan keluar dari Islam. Inilah pendapat Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu pendapat para sahabat, imam mazhab yang empat dan seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah sampai hari kiamat [lihat Al-Qoulul Mufid, karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, 2/159-160]
Adapun akar kesesatan Khawarij dalam memahami permasalahan ini dikarenakan penyimpangan mereka dalam metode memahami Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sebagaimana ciri ahlul bid’ah lainnya, yaitu tidak mau mengikuti pemahaman As-Salafus Shalih terhadap nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga mereka salah memahami firman Allah Ta’ala,
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ
“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” [Al-Maidah: 44]
Kaum Khawarij memahami ayat ini bahwa kekafiran yang dimaksudkan dalam ayat tersebut adalah kekafiran besar, sehingga siapa saja pelakunya walaupun dia seorang muslim telah menjadi kafir atau murtad dari Islam.
As-Sam’ani rahimahullah berkata,
واعلم أن الخوارج يستدلون بهذه الآية ، ويقولون : من لم يحكم بما أنزل الله فهو كافر ، وأهل السنة قالوا : لا يكفر بترك الحكم
“Ketahuilah, sesungguhnya Khawarij berdalil dengan ayat ini (dalam pengkafiran). Mereka berkata: Siapa yang tidak berhukum dengan hukum Allah maka dia kafir. Adapun Ahlus Sunnah berkata: Tidak kafir dengan sekedar tidak berhukum (dengan hukum Allah).”
Atas dasar kesesatan ini, kaum Teroris Khawarij tidak segan-segan membunuh kaum muslimin, tidak peduli yang berada di tempat maksiat ataupun yang sedang beribadah di masjid, karena bagi mereka pemerintah dan seluruh aparat telah kafir karena, “Tidak menjalankan syari’at Islam dengan benar” (seperti kata seorang tokoh Khawarij di negeri ini).
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam telah memperingatkan akan kemunculan Khawarij dan sifat-sifat mereka,
قَوْمٌ يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ يَمْرُقُونَ مِنَ الدِّينِ مُرُوقَ السَّهْمِ مِنَ الرَّمِيَّةِ يَقْتُلُونَ أَهْلَ الإِسْلاَمِ وَيَدَعُونَ أَهْلَ الأَوْثَانِ لَئِنْ أَنَا أَدْرَكْتُهُمْ لأَقْتُلَنَّهُمْ قَتْلَ عَادٍ
“Mereka adalah satu kaum yang membaca Al-Qur’an namun tidak malampaui kerongkongan mereka (tidak memahami Al-Qur’an dengan baik), mereka keluar dari agama bagaikan anak panah yang menembus buruannya, mereka membunuh kaum muslimin dan membiarkan kaum musyrikin. Andaikan aku bertemu mereka, maka akan kubunuh mereka seperti pembunuhan kepada kaum ‘Aad.”
Apa yang disampaikan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dalam hadits ini benar-benar sesuai kenyataan yang ada pada kelompok Teroris Khawarij. Mereka tidak memperhatikan dakwah tauhid dan pemberantasan kesyirikan, sehingga mereka membiarkan para penyembah kubur yang ada di sekitar mereka. Seakan bagi mereka kesyirikan saat ini hanyalah kesyirikan di parlemen, sedangkan kekafiran hanyalah, “Tidak menjalankan syari’at Islam dengan benar”.
Demikian pula yang terjadi pada kelompok ISIS, mereka membunuh kaum muslimin di Suriah dan membiarkan bahkan membantu pemerintah Syi’ah Suriah dan Iran yang memiliki aqidah kesyirikan dan kekufuran.
Hadits ini juga menunjukkan bagaimana seharusnya pemerintah menyikapi Teroris Khawarij menurut tuntunan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, yaitu memerangi mereka, demikian pula menasihati mereka sebelum diperangi.
Maka inilah keyakinan Khawarij terhadap para penguasa muslim hari ini, mereka mengkafirkan para penguasa karena tidak berhukum dengan syari’at Islam secara menyeluruh dengan dalil firman Allah ta’ala dalam surat Al-Maidah ayat 44.
Bagaimana dengan keyakinan Salafi?
Salafi, sesuai artinya yaitu pengikut Salaf, pengikut generasi terbaik umat ini, yakni Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dan sahabat, memahami ayat tersebut sebagaimana yang dipahami para sahabat dan tabi’in.
Para ulama Salafi menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini (Surat Al-Maidah: 44) berkaitan dengan orang-orang yang memang kafir dari kalangan Yahudi dan kaum musyrikin, sehingga untuk menerapkan ayat ini kepada kaum muslimin tidak sama dengan orang-orang kafir.
As-Sam’ani rahimahullah berkata,
قال البراء بن عازب -وهو قول الحسن-: الآية في المشركين. قال ابن عباس: الآية في المسلمين، وأراد به كفر دون كفر
“Al-Barro bin ‘Azib berkata –dan ini juga merupakan pendapat Al-Hasan-: Ayat ini tentang kaum musyrikin. Ibnu Abbas berkata: Ayat ini tentang kaum muslimin juga, namun yang dimaksudkan dengan kekufuran adalah kekufuran kecil.”
Ulama besar Salafi, ahli hadits abad ini, Asy-Syaikh Al-’Allamah Al-Albani rahimahullah berkata,
“Maka tidak boleh membawa ayat ini atas sebagian penguasa muslim dan para hakimnya yang berhukum dengan selain hukum Allah Ta’ala dengan berbagai bentuk undang-undang buatan manusia. Aku katakan, tidak boleh mengkafirkan dan mengeluarkan mereka dari agama dengan sebab perbuatan itu, apabila mereka masih beriman kepada Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam. Meskipun mereka telah berbuat jahat karena berhukum bukan dengan hukum Allah Ta’ala tetap saja tidak boleh mengkafirkan mereka. Karena walaupun mereka sama dengan Yahudi dalam permasalahan ini, namun mereka berbeda dengan Yahudi dalam permasalahan yang lain, yaitu iman dan pembenaran mereka terhadap ajaran yang Allah Ta’ala turunkan, berbeda dengan orang Yahudi yang menentangnya.”
Berikut penjelasan ulama Salaf terhadap makna surat Al-Maidah ayat 44:
1) Sahabat yang mulia, Turjumanul Qur’an, Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,
“Bukan kekafiran (besar) sebagaimana pendapat mereka, sesungguhnya itu bukan kekafiran yang mengeluarkan dari agama, tapi kekafiran kecil (kufrun duna kufrin).” [Riwayat Al-Hakim dalam Al-Mustadrak (2/313), beliau menyatakan shahih dan disepakati oleh Adz-Dzahabi, juga dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552]
2) Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma juga berkata,
“Barangsiapa yang mengingkari hukum Allah maka dia kafir, adapun yang masih mengakuinya namun tidak berhukum dengannya maka dia zalim lagi fasik.” [Riwayat Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (12063), dihasankan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552]
3) Tabi’in yang mulia ‘Atho bin Abi Rabah rahimahullah berkata,
“Maksudnya adalah kekafiran di bawah kekafiran (yakni kekafiran kecil), kefasikan di bawah kefasikan dan kezaliman di bawah kezaliman.” [Riwayat Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (12047-12051), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552]
4) Tabi’in yang mulia Thawus bin Kaysan rahimahullah berkata,
“Bukan kekafiran (besar) yang mengeluarkan dari agama.” [Riwayat Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (12052), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah, pada ta’liq beliau terhadap hadits no. 2552]
5) Tabi’ut Tabi’in yang mulia, Abdullah bin Thawus rahimahumallah berkata,
“Tidaklah seperti orang yang kafir kepada Allah Ta’ala, Malaikat-Nya, Kitab-Nya dan Rasul-Nya.” [Riwayat Ath-Thobari dalam Jami’ul Bayan (12055), dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam tahqiq beliau terhadap Kitab Al-Iman karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hal. 256]
Inilah sesungguhnya manhaj generasi terbaik yang kita diperintahkan untuk mengikuti mereka dalam beragama, siapa yang menyimpang dari pemahaman ini maka dia telah keluar dari jalan satu golongan yang selamat dan masuk kepada 72 golongan yang sesat.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
إن أمتي ستفترق على اثنتين وسبعين كلها في النار إلا واحدة وهي الجماعة
“Sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu al-jama’ah.” [HR. Ibnu Abi ‘Ashim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu, Zhilalul Jannah: 64]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
و تفترق أمتي على ثلاث و سبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة ما أنا عليه و أصحابي
“Dan akan berpecah ummatku menjadi 73 millah, semuanya di neraka kecuali satu, yaitu yang mengikuti aku dan para sahabatku.” [HR. Tirmidzi dari Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu’anhuma, Shohihul Jami’: 9474 dan Al-Misykah: 171 pada tahqiq kedua]
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,
فأخبر النبي أن الفرقة الناجية هي التي تكون على ما كان عليه هو وأصحابه فمتبعهم إذا يكون من الفرقة الناجية لأنه على ما هم عليه ومخالفهم من الاثنتين والسبعين التي في النار
“Maka Nabi shallallahu’alaihi wa sallam mengabarkan bahwa golongan yang selamat (al-firqotun najiyah) adalah yang mengikuti beliau dan sahabat-sahabatnya. Jadi, orang yang mengikuti mereka menjadi bagian dari al-firqotun najiyah karena dia berada di atas jalan mereka, sedangkan yang menyelisihi maka dia termasuk ke dalam 72 golongan yang di neraka.”
Inilah akar penyimpangan Khawarij (dan seluruh kelompok sesat), yaitu karena mereka berusaha memahami Al-Qur’an dengan pemahaman sendiri, tidak mengikuti pemahaman sahabat, oleh karena itu sahabat yang mulia Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma ketika berdialog dengan Khawarij, pertama kali yang beliau ingatkan kepada mereka adalah,
أتيتكم من عند أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم المهاجرين والأنصار ومن عند بن عم النبي صلى الله عليه و سلم وصهره وعليهم نزل القرآن فهم أعلم بتأويله منكم وليس فيكم منهم أحد
“Aku adalah utusan sahabat Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, Muhajirin, Anshor, dan sepupu Nabi shallallahu’alaihi wa sallam dan juga menantu beliau (yaitu Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu, Khalifah ketika itu), aku datang kepada kalian untuk menyampaikan pendapat mereka, karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan, maka mereka lebih mengetahui akan tafsirnya daripada kalian, sedang tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang bersama kalian.”
Da menurut logika yang sehat, pemahaman Teroris Khawarij dalam mengkafirkan setiap orang yang “Tidak menjalankan syari’at Islam dengan benar” atau “Tidak berhukum dengan hukum Islam secara menyeluruh” akan berkonsekuensi mengkafirkan seluruh kaum muslimin yang ada di muka bumi ini, sebab siapa yang mampu menjalankan syari’ah Islam dengan benar sepanjang hidupnya?! Apakah ada manusia yang tidak pernah berbuat salah?!
Dan yang paling minimal, konsekuensi dari pemahaman rusak Terosis Khawarij ini adalah pengkafiran seluruh pelaku dosa besar yang sudah jelas-jelas merupakan manhajnya Khawarij generasi awal. Sebab yang namanya syari’ah Islam secara hakiki adalah seluruh aturan-aturan kehidupan dalam Islam, tidak sebatas hukum-hukum dalam pemerintahan. Maka siapa yang melakukan dosa besar seperti membunuh, mencuri, zina dan lain-lain, adalah pelanggaran syari’ah Islam yang pelakunya kafir kepada Allah Ta’ala (menurut pemahaman rusak ini, tanpa membedakan orang yang menghalalkan perbuatan haram tersebut setelah mengetahui keharamannya dan orang yang melakukannya namun masih meyakini hal itu tetap haram). Wal’iyaadzu billahi minal jahli wadh-dholaal.
Syubhat dan Bantahannya
Diantara syubhat terbesar Teroris Khawarij yang telah menguasai jiwa dan pikiran mereka adalah tuduhan mereka bahwa penguasa yang ada sudah benar-benar menghalalkan hukum peninggalan Belanda dan hukum yang bertentangan dengan syari’at, atau menganggapnya sama baiknya dengan hukum Islam, atau bahkan lebih baik dari hukum Islam, dengan bukti perbuatan penguasa dalam menetapkan undang-undang yang tidak berdasar syari’at Islam.
Jawaban atas syubhat ini:
Pertama: Penghalalan (الاستحلال) yang dimaksudkan para ulama bukanlah sekedar penghalalan dengan perbuatan tetapi dengan hati (yakni meyakini apa yang diharamkan Allah Ta’ala itu halal setelah mengetahui keharamannya dalam syari’at Islam), oleh karena itu sebagian ulama mengistilahkan kekafiran berhukum dengan selain hukum Islam ini dengan ‘kekafiran dalam perbuatan’ (kufur ‘amali) yang tidak mengeluarkan dari Islam dan ‘kekafiran dalam keyakinan’ (kufur i’tiqodi) yang mengeluarkan dari Islam.
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Faqih Al-Albani rahimahullah berkata,
“Kunci dalam permasalahan ini adalah memahami bahwa kekafiran itu ada dua bentuk, keyakinan (اعتقادي) dan perbuatan (عملي). Keyakinan tempatnya di hati, sedangkan perbuatan tempatnya pada anggota tubuh. Maka barangsiapa yang perbuatannya adalah kekafiran yang menyelisihi syar’i dan bersesuaian dengan keyakinan yang ada dalam hatinya, itulah kufur i’tiqodi (kekafiran besar) yang tidak diampuni Allah Ta’ala dan pelakunya kekal di neraka selama-lamanya. Adapun jika hatinya menyelisihi kekafiran itu maka dia beriman dengan hukum Rabbnya, apabila dia menyelisihi hukum tersebut dengan perbuatannya, maka kekafirannya adalah kufur ‘amali (kekafiran kecil) bukan i’tiqodi (kekafiran besar), dia di bawah kehendak Allah Ta’ala, mungkin diadzab dan mungkin diampuni (sebagaimana pelaku dosa besar).”
Lalu dari mana kalian tahu penguasa yang menyelisihi hukum Islam itu telah menghalalkan hukum yang bertentangan dengan Islam atau menganggap sama baiknya dengan hukum Islam atau lebih baik dari hukum Islam dengan hatinya?! Apakah kalian telah membelah dadanya?!
Perhatian: Bantahan ini sekaligus menjawab tuduhan “murji’ah” terhadap Salafi yang dilontarkan oleh orang-orang Khawarij, alasan mereka karena Salafi tidak mengkafirkan pelaku kufur ‘amali, yaitu para penguasa yang tidak berhukum dengan hukum Islam, maka keterangan di atas telah membantah mereka bahwa kufur ‘amali yang dimaksudkan di sini adalah kufur asghar, yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari Islam, bukan kufur akbar.
Jadi bukan bermakna setiap kufur ‘amali itu tidak dapat dikafirkan pelakunya, karena bisa jadi kufur ‘amali, kekufuran dalam perbuatan, bukan dalam keyakinan namun termasuk kufur akbar yang menyebabkan pelakunya murtad keluar dari Islam, seperti berdoa kepada selain Allah, menyembelih untuk selain-Nya dan lain-lain. Akan tetapi kufur ‘amali berupa tidak berhukum dengan syari’at Islam termasuk kufur asghar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam.
Kedua: Kalaupun benar sebagaimana yang kalian katakan, bahwa penguasa tersebut telah melakukan kekafiran besar karena menghalalkan hukum yang bertentangan dengan Islam atau menganggapnya sama baik dengan hukum Islam atau bahkan lebih baik dari Islam, maka apakah penguasa yang tadinya muslim tersebut serta merta menjadi kafir?! Apakah setiap pelaku kekafiran langsung bisa kita kafirkan?!
Inilah salah satu titik perbedaan yang mendasar antara manhaj Teroris Khawarij dan manhaj Salafi, Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam pengkafiran. Karena semangat yang berlebihan tanpa didasari dengan ilmu sehingga Teroris Khawarij mengkafirkan setiap muslim yang melakukan kekafiran tanpa mengikuti kaidah-kaidah pengkafiran menurut Islam. Pembahasan berikut insya Allah Ta’ala akan menjelaskan beberapa kaidah penting yang harus dipahami dalam pengkafiran menurut ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Beberapa Kaidah dalam Pengkafiran
1) Menghukumi suatu perbuatan sebagai kekafiran atau pelakunya telah kafir adalah hukum syar’i.
Berbicara tentang kekafiran suatu perbuatan dan pengkafiran pelakunya sama halnya dengan pembicaraan suatu hukum dalam syari’at, haruslah berdasarkan ilmu (Al-Qur’an dan As-Sunnah). Sebab Allah Ta’ala telah mengharamkan pembicaraan dalam agama-Nya tanpa didasari ilmu, sebagaimana firman-Nya,
وَأَن تَقُولُواْ عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui.” [Al-A’rof: 33]
Asy-Syaikh Al-Mufassir AbdurRahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata,
“Makna firman Allah Ta’ala, “(Allah mengharamkan) kalian berkata atas Allah apa yang tidak kalian ketahui”, mencakup pembicaraan tentang nama-nama Allah Ta’ala, sifat-sifat-Nya, perbuatan-perbuatan-Nya dan syari’at-Nya. Semua bentuk pembicaraan tanpa ilmu telah diharamkan oleh Allah Ta’ala. Dia melarang hamba-hamba-Nya untuk melakukan hal itu, karena dalam perbuatan tersebut terdapat kerusakan yang khusus maupun umum.”
Maka tidak diragukan lagi bahwa pembicaraan tentang kekafiran dan pengkafiran adalah masalah syari’at yang harus berdasarkan ilmu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Kekafiran adalah hukum syar’i, hanya boleh ditetapkan dengan dalil-dalil syar’iyyah.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Oleh karena itu para ulama Sunnah tidak mengkafirkan (semua) yang menyelisihi mereka, meskipun orang yang menyelisihi itu mengkafirkan mereka, karena (menetapkan) kekafiran adalah hukum syar’i.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Tidak boleh bagi seseorang untuk mengkafirkan orang yang menyelisihinya, apabila perkataan orang yang menyelisihinya itu bukan termasuk kekafiran menurut syar’i yang berasal dari pemilik syari’ah (yaitu Allah Ta’ala). Walaupun akal bisa saja membedakan pendapat yang benar dan yang salah, namun tidak semua yang salah menurut akal merupakan kekafiran dalam syar’iah, sebagaimana tidak semua yang dianggap benar oleh akal harus dianggap baik dalam syar’iah.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Demikian pula, pengkafiran adalah hak Allah Ta’ala, maka tidak boleh mengkafirkan seseorang kecuali yang telah dikafirkan oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu’alaihi wa sallam.“
Asy-Syaikh Al-‘Allamah Ibnul ‘Utsaimin rahimahullah berkata,
“Kekafiran adalah hukum syar’i yang harus kembali kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka apa yang dianggap sebagai kekafiran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah itulah kekafiran, jika tidak dianggap sebagai kekafiran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah bukanlah kekafiran. Sehingga tidak harus bahkan tidak boleh mengkafirkan seorang (muslim) sampai jelas dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atas kekafirannya.”
Oleh karena itu, tidak setiap orang berhak bicara dalam masalah pengkafiran selain para ulama yang benar-benar mendalam ilmunya.
Asy-Syaikh Al-Faqih Shalih Al-Fauzan hafizhahullah berkata,
“Menghukumi seseorang telah murtad atau keluar dari agama Islam adalah kewenangan para ulama yang mendalam ilmunya, mereka adalah para hakim di mahkamah syari’ah dan para ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Sebagaimana pula dalam permasalahan lainnya, berbicara dalam masalah seperti ini bukanlah hak setiap orang, bukan pula hak para penuntut ilmu atau yang menisbatkan diri kepada ilmu agama padahal pemahamannya tentang ilmu agama masih sangat terbatas. Bukanlah hak mereka untuk menghukumi seseorang telah murtad, karena perbuatan tersebut akan melahirkan kerusakan. Bisa jadi mereka memvonis seseorang telah murtad padahal dia tidak murtad. Sedang mengkafirkan seorang muslim yang tidak melakukan salah satu pembatal keislaman sangat berbahaya. Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya, “wahai kafir” atau “wahai fasik”, padahal dia tidak seperti itu maka perkataan itu kembali kepada orang yang mengucapkannya. Oleh karena itu, yang berhak memvonis murtad hanyalah para hakim syar’i dan ahli fatwa yang diakui keilmuannya. Adapun yang merealisasikan hukumannya adalah pemerintah kaum muslimin, selain itu hanya akan melahirkan kekacauan.”
2) Tidak setiap muslim yang melakukan kekafiran itu kafir.
Sangat penting dipahami bahwa tidak setiap muslim yang melakukan kekafiran serta merta menjadi kafir, sampai terpenuhi syarat-syarat pengkafiran (شروط التكفير) dan hilang penghalang-penghalangnya (موانع التكفير).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Tidak setiap orang yang bersalah (melakukan kekafiran) itu menjadi kafir, terlebih dalam permasalahan yang rumit, yang terdapat banyak khilaf padanya.”
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Al-Albani rahimahullah berkata,
“Tidak setiap mukmin yang melakukan kekafiran serta merta bisa dihukumi kafir.”
Maka wajib bagi setiap muslim berhati-hati dalam mengkafirkan saudaranya meskipun telah jelas baginya bahwa saudaranya tersebut telah melakukan suatu amalan kekafiran (insya Allah akan kami bahas secara lebih terperinci tentang syarat-syarat dan penghalang-penghalang dalam pengkafiran pada kesempatan yang lain).
3) Pengkafiran terhadap seorang muslim yang melakukan kekafiran terbagi dua bentuk, pengkafiran terhadap perbuatan (takfir muthlaq) dan pengkafiran terhadap pelakunya (takfir mu’ayyan).
Takfir muthlaq adalah mengkafirkan suatu perbuatan kekafiran apabila telah dinyatakan sebagai kekafiran oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. Tidak disyaratkan apapun dalam takfir muthlaq selain adanya dalil yang shahih yang menyatakan suatu perbuatan sebagai kekafiran dan adanya istidlal yang benar.
Sedangkan takfir mu’ayyan adalah mengkafirkan pelaku kekafiran. Disyaratkan dalam takfir mu’ayyan ini sejumlah syarat-syarat yang harus terpenuhi dan hilang penghalang-penghalangnya, sebelum menjatuhkan vonis kafir kepada orang tertentu.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
“Wajib membedakan antara takfir muthlaq danmu’ayyan.”
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Mazhab para imam dalam pengkafiran dibangun atas dasar perincian antara jenis kekafirannya (muthlaq) dan pelakunya (mu’ayyan).”
Beliau rahimahullah juga berkata,
“Takfir muthlaq tidak mengharuskan takfir mu’ayyan, karena bisa jadi sebagian ulama berbicara dalam satu masalah berdasarkan ijtihadnya lalu mereka tersalah dalam masalah tersebut, maka tidaklah para ulama tersebut dikafirkan, meskipun bisa saja orang yang melakukan kekafiran itu dikafirkan apabila telah tegak hujjah atasnya.”
Faidah: Kaidah ini juga merupakan bantahan kepada mereka yang menuduh Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Salafi kerjanya hanya membid’ah-bid’ahkan (tabdi’) dan mengkafir-kafirkan orang. Sebab kebanyakan orang yang menuduh tersebut tidak bisa membedakan yang mana tabdi’ atau takfir muthlaq dan yang mana mu’ayyan, sehingga mereka menyangka Salafi mudah menjatuhkan vonis mu’ayyan kepada pelaku bid’ah atau kekafiran, padahal yang divonis adalah perbuatannya ataupun kelompok bid’ahnya bukan person yang melakukannya atau yang tergabung dalam kelompok bid’ah tersebut.
Contoh vonis muthlaq, apabila kita mengatakan, “Demonstrasi kepada pemerintah kaum muslimin adalah bid’ah”, atau “Siapa yang melakukan demonstrasi kepada pemerintah kaum muslimin maka dia seorang Ikhwani (pengikut IM) Khariji (yang bermanhaj Khawarij)”.
Ucapan di atas jelas berbeda jika kita mengatakan, “Fulan adalah ahli bid’ah karena dia telah melakukan kebid’ahan” dan “Fulan adalah ahli bid’ah karena dia telah bergabung dengan kelompok bid’ah”. Dua contoh yang terakhir ini adalah vonis mu’ayyan kepada fulan (individu) tertentu yang tidak boleh dilakukan kecuali terpenuhi syarat-syaratnya dan hilang penghalang-penghalangnya.
Bahaya Mengkafirkan Seorang Muslim
Wajib menahan diri dari mengkafirkan seorang muslim yang melakukan kekafiran sampai terpenuhi syarat-syarat pengkafiran dan hilang penghalang-penghalangnya, karena mengkafirkan seorang muslim yang tidak layak dikafirkan adalah perbuatan yang sangat berbahaya.
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّمَا رَجُلٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا
“Siapa saja yang mengatakan kepada saudaranya, “Wahai kafir”, maka ucapan tersebut pasti kembali kepada salah seorang dari keduanya.”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
لاَ يَرْمِى رَجُلٌ رَجُلاً بِالْفُسُوقِ، وَلاَ يَرْمِيهِ بِالْكُفْرِ، إِلاَّ ارْتَدَّتْ عَلَيْهِ، إِنْ لَمْ يَكُنْ صَاحِبُهُ كَذَلِك
“Tidaklah seorang menuduh orang lain dengan kefasikan dan kekafiran, kecuali akan kembali kepada penuduhnya apabila orang yang dituduh tidak seperti itu.”
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda,
وَمَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أَوْ قَالَ عَدُوَّ اللَّهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ إِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekafiran, atau mengatakan, “Wahai musuh Allah”, padahal tidak seperti itu, maka (ucapan tersebut) kembali kepadanya.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Hadits ini adalah peringatan keras kepada setiap muslim, jangan sampai menuduh saudara muslimnya dengan kekafiran atau kefasikan.”
Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah berkata,
“Ini adalah ancaman besar bagi siapa yang mengkafirkan seorang muslim padahal ia tidak kafir.”
Asy-Syaukani rahimahullah berkata,
“Ketahuilah, menghukumi seorang muslim telah keluar dari Islam dan masuk kepada kekafiran tidak pantas dilakukan oleh seorang muslim yang beriman kepada Allah Ta’ala dan hari akhir kecuali dengan bukti yang lebih jelas dari matahari siang”.
Beliau (Asy-Syaukani) rahimahullah menyebutkan hadits-hadits di atas dan berkata,
“Maka dalam hadits-hadits ini dan hadits-hadits lain yang semisalnya terdapat peringatan yang paling agung dan nasihat yang paling besar agar berhati-hati dari sikap terburu-buru dalam mengkafirkan.”
SUMBER :
Website Sofyan Chalid bin Idham Ruray
SELENGKAP NYA DI :
http://www.sunnahcare.com/2014/11/salib-ala-isis.html?m=1
http://www.sunnahcare.com/2014/11/mutilasi-ala-isis-di-kota-raqqa-suriah.html?m=1
http://www.sunnahcare.com/2014/11/137-anak-anak-dibantai-isis.html?m=1
http://www.sunnahcare.com/2014/11/kompilasi-kejahatan-isis-terhadap.html?m=1
http://sofyanruray.info/tag/isis/
===============================
↗ CIRI SYIAH LAKNATULLOH
Anda harus mengetahuinya….. !!!
Ciri-ciri pengikut Syi’ah sangat mudah dikenali, kita dapat memperhatikan sejumlah cirri-ciri berikut:
- Mengenakan songkok hitam dengan bentuk tertentu. Tidak seperti songkok yang dikenal umumnya masyarakat Indonesia, songkok mereka seperti songkok orang Arab hanya saja warnanya hitam.
Tidak shalat jum’at. Meskipun shalat jum’at bersama jama’ah, tetapi dia langsung berdiri setelah imam mengucapkan salam. Orang-orang akan mengira dia mengerjakan shalat sunnah, padahal dia menyempurnakan shalat Zhuhur empat raka’at, karena pengikut Syi’ah tidak meyakini keabsahan shalat jum’at kecuali bersama Imam yang ma’shum atau wakilnya.
Pengikut Syi’ah juga tidak akan mengakhiri shalatnya dengan mengucapkan salam yang dikenal kaum Muslimin, tetapi dengan memukul kedua pahanya beberapa kali. Anda bisa saksikan videonya di:
http://www.sunnahcare.com/2014/03/detektif-syiah-menelusuri-ciri-ciri.html?m=1
- Pengikut Syiah shalat bukan dengan tatacara shalat yang diajarkan oleh Rasulullah. Misalnya, orang syiah tidak bersedekap ketika shalat, tidak mengucapkan Aamiin, setelah akhir Surat Al-Fatihah, dan mereka mengutuk Abu bakar, Umar, dan aisyah ketika shalat.
Klik link videonya di sini :
http://www.sunnahcare.com/2014/03/detektif-syiah-menelusuri-ciri-ciri.html?m=1
Di youtube banyak pula video-video yang menggambarkan bagaimana mereka melakukan shalat
(jangan ditiru sholatnya) :
Video Aneh Tarawih Syi’ah
Lihat Pula Di Sini :
http://www.sunnahcare.com/2014/03/detektif-syiah-menelusuri-ciri-ciri.html?m=1
- Pengikut Syi’ah jarang shalat jama’ah karena mereka tidak mengakui shalat lima waktu, tapi yang mereka yakini hanya tiga waktu saja.
Mayoritas pengikut Syi’ah selalu membawa At-Turbah Al-Husainiyah yaitu batu/tanah (dari Karbala – redaksi) yang digunakan menempatkan kening ketika sujud, bila mereka shalat tidak didekat orang lain.
Jika Anda perhatikan caranya berwudhu maka Anda akan dapati bahwa wudhunya sangat aneh, tidak seperti yang dikenal kaum Muslimin.
Anda tidak akan mendapatkan penganut Syi’ah hadir dalam kajian dan ceramah Ahlus Sunnah.
Anda juga akan melihat penganut Syi’ah banyak-banyak mengingat Ahlul Bait; Ali, Fathimah, Hasan dan Husain radhiyallahu anhum. Dzikir mereka tidak lagi menyebut nama Allah, tapi menyebut nama Husain atau Fatimah atau ahlul bait lainnya.
Mereka juga tidak akan menunjukkan penghormatan kepada Abu Bakar, Umar, Utsman, mayoritas sahabat radhiyallahu anhum dan para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pada bulan Ramadhan penganut Syi’ah tidak langsung berbuka puasa setelah Adzan maghrib; dalam hal ini Syi’ah berkeyakinan seperti Yahudi yaitu berbuka puasa jika bintang-bintang sudah nampak di langit, dengan kata lain mereka berbuka bila benar-benar sudah masuk waktu malam. (mereka juga tidak shalat tarwih bersama kaum Muslimin, karena menganggapnya sebagai bid’ah).
Mereka berusaha sekuat tenaga untuk menanam dan menimbulkan fitnah antara satu kelompok kaum muslimin dengan kelompok lainnya, sementara itu mereka mengklaim tidak ada perselisihan antara mereka dengan sunni. Ini tentu tidak benar.
Anda tidak akan mendapati seorang penganut Syi’ah memegang dan membaca Al-Qur’an kecuali jarang sekali, itu pun sebagai bentuk taqiyyah (kamuflase), karena Al-Qur’an yang benar menurut mereka yaitu al-Qur’an yang berada di tangan al-Mahdi yang ditunggu kedatangannya.
14.Orang Syiah tidak berpuasa pada hari Asyura tetapi mereka hanya menunjukkan kesedihan di hari tersebut.
Bahkan ada di kalangan mreka yang menganggap haram puasa kerana seolah-olah bersyukur ke atas kesyahidan Sayyidina Husain.
- Mereka juga berusaha keras mempengaruhi kaum wanita khususnya para mahasiswi di perguruan tinggi atau di perkampungan sebagai langkah awal untuk memenuhi keinginannya melakukan mut’ah dengan para wanita tersebut bila nantinya mereka menerima agama Syi’ah.
Orang-orang Syi’ah juga getol mendakwahi orang-orang tua yang memiliki anak putri, dengan harapan anak putrinya juga ikut menganut Syi’ah sehingga dengan leluasa dia bisa melakukan zina mut’ah dengan wanita tersebut baik dengan sepengetahuan ayahnya ataupun tidak. Pada hakikatnya ketika ada seorang yang ayah yang menerima agama Syi’ah, maka para pengikut Syi’ah yang lain otomatis telah mendapatkan anak gadisnya untuk dimut’ah. Tentunya setelah mereka berhasil meyakinkan bolehnya mut’ah. Semua kemudahan, kelebihan, dan kesenangan terhadap syahwat ini ada dalam diri para pemuda, sehingga dengan mudah para pengikut Syi’ah menjerat mereka bergabung dengan agama Syi’ah.
Syiah juga mengajarkan desakralisasi Al Qur’an. Dalam keyakinan syiah bahwa al Qur’an yang ada ini tidak asli yang asli adalah mushaf Fatimah. “Syiah ini seperti liberal, mereka mengatakan al Qur’an produk budaya, syiah mengatakan al Qur’an palsu.
Model dakwah yang di gunakan orang-orang syiah dalam menyebarkan syiahnya di bumi ahlus sunnah, sering mengangkat ukhuwah Islamiyah. Tidak ada perbedaan syiah dan sunni yang penting Islam.Memberikan image netral, namun dilain kesempatan mengkritik sunni, mengkritik ulama sunni.
Bila dikatakan kepadanya bahwa dirinya Syiah, maka dia akan menolak disebut syi’ah dan menyatakan diri bahwa dirinya seorang muslim,atu lebih suka disebut sebagai pengikut ahlul bait, kemudian mereka juga menghindari diskusi face to face.
Seorang syiah tidak boleh diberi nama atau dipanggil dengan nama Abu Bakar, Umar, Usman, Muawiyah dan Aisyah.
Berkeyakinan Imam-imam 12 mereka adalah maksum (bebas dari dosa-doa kecil dan besar). Bahkan ada dikalangan ulama-ulama mereka mengatakan bahawa kedudukan imam-imam 12 adalah setara bahkan ada yang kata lebih tinggi dari kedudukan Para Nabi-Nabi dan Malaikat-Malaikat yang paling hampir dengan Allah.
Kain kafan mayat mereka bertulis.
Membaca talqin dengan menyebut imam-imam 12.
Meletakkan gambar-gambar imam-imam 12 mereka di dalam rumah. Biasanya mereka letak di dinding rumah mereka.
Suami halal meliwat isteri.
Mereka tidak ada sholat tarawih. Jika ada Orang syiah yang berteraweh itu bermakna mereka bertaqiah (pura-pura)
Mereka lebih banyak menyebut nama-nama imam-imam mereka dari menyebut kalimah Allah terutama ketika mereka ditimpa musibah.
Setiap kali menyambut hari peringatan seperti peringatan terbunuhnya Saidina Ali bin Abi Tolib dan peringatan terbunuhnya Husein bin Ali, pengikut syiah akan melakukan upacara-upacara yang menunjukkan kesedihan mereka terhadap musibah-musibah yang menimpa ahlul bait. Dalam merayakan ritual ini cara mereka berbeda-beda sesuai tempat asal mereka.
Dalam pembahasan kajian fikih yang diadakan selalu saja mengangkat pendapat Mazhab Ahlul Bait sebagai pengganti kata Syiah. Kalangan ini akan menyampaikan bahwa pendapat Abu Hanifah, Malik, Syafi’I dan Ahmad demikian. Adapun menurut pendapat Ahlul Bait demikian. Dan yang rajih adalah pendapat Ahlul Bait. Atau menggunakan kalimat yang semisalnya; madzhab keluarga Nabi, pendapat Amirul Mukminin Ali dan seterusnya.
Senantiasa mengangkat isu untuk mencintai Ahlul Bait versi Syiah yakni keluarga Nabi jalur Keturunan Ali bin Abi Thalib RA saja.
Mengatakan Sahabat Muawiyah bin Abi Sofyan RA bukan sahabat Nabi saw, seorang munafiq dan berbagai celaan lainnya.
Menyampaikan bahwa dalam riwayat Imam Bukhari ada para perawi Syi’ah. Siapa yang menghujat atau menyesatkan Syi’ah berarti menghujat Bukhari.
Memberikan pernyataan bahwa Syiah itu tidak sesat, Syiah dan Sunni itu sama, tidak perlu untuk diperdebatkan.
Silahkan anda tambahkan ciri-ciri lainnya …… ???
Ciri-ciri mereka sangat banyak. Sekalipun dalam kondisi syiah minoritas, anda sulit untuk menjumpai ciri itu, karena mereka bertaqiyah. Selain yang kami sebutkan di atas masih banyak ciri-ciri lainnya, sehingga tidak mungkin bagi kita untuk menjelaskan semuanya di sini. Namun cara yang paling praktis ialah dengan memperhatikan raut wajah. Wajah mereka merah padam jika Anda mencela Khomeini dan Sistani, tapi bila Anda menghujat Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah dan Hafshah, atau sahabat-sahabat lainnya radhiyallahu anhum tidak ada sedikitpun tanda-tanda kegundahan di wajahnya.
Dengan hati yang terang, kaum muslimin Ahlus Sunnah dapat mengenali pengikut Syi’ah dari wajah hitam mereka karena tidak memiliki keberkahan. Jika Anda perhatikan wajah mereka maka Anda akan membuktikan kebenaran penilaian ini, dan inilah hukuman bagi siapa saja yang mencela dan menyepelekan al-Quran dan para sahabat radhiyallahu anhum, serta para ibunda kaum Muslimin (yaitu istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) yang dijanjikan surga oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Kita memohon hidayah kepada Allah untuk kita dan mereka semua.
Wallahu a’lam.
( BY : Abu Syamil Humaidy )
DI KUTIP DARI ARTIKEL :
http://www.sunnahcare.com
Untuk Penjelasan Selanjut nya :
Baca Di :
http://www.sunnahcare.com/2014/11/pertanyaan-untuk-syiah.html?m=1
http://www.sunnahcare.com/2014/11/peluang-emas-untuk-syiah-dan-aliran.html?m=1
http://www.sunnahcare.com/2014/11/ritual-khusus-agama-syiah-di-hari-asyura.html?m=1
Barokallohufiyk !